Bismillahirrohmanirrohiim
Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadukan segala fitnah dan ujian yang mendera. Akibat ulah sekolompok anak muda yang hanya bermodalkan semangat belaka dalam beragama, namun tanpa disertai kajian ilmu syar’i yang mendalam dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan para ulama, kini ummat Islam secara umum dan Ahlus Sunnah secara khusus harus menanggung akibatnya berupa celaan dan citra negatif sebagai pendukung terorisme.
Aksi-aksi terorisme yang sejatinya sangat ditentang oleh syari’at Islam yang mulia ini justru dianggap sebagai bagian dari jihad di jalan Allah sehingga pelakunya digelari sebagai mujahid, apabila ia mati menjadi syahid, pengantin surga, calon suami bidadari (??)
Demi Allaah, akal dan agama mana yang mengajarkan terorisme itu jihad ?!
Akal dan agama mana yang mengajarkan lempar bom di sembarang tempat itu amal saleh ???!
Berikut beberapa penyimpangan terorisme dari syari’at Islam dan menjelaskan beberapa hukum jihad syar’i yang diselisihi para Teroris.
Penjelasan ini insyaa Allaah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta keterangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pengikut generasi salaf (generasi sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam).
Pelanggaran-pelanggaran hukum "Jihad Islami" yang dilakukan Teroris :
A. Pelanggaran Pertama :
- Tidak memenuhi syarat-syarat Jihad dalam syari’at Islam.
Jihad melawan orang kafir terbagi dua bentuk :
1. Jihad difa’ (defensif, membela diri).
2. Jihad tholab (ofensif, memulai penyerangan lebih dulu).
Adapun yang dilakukan oleh para Teroris tidak diragukan lagi adalah jihad ofensif (menyerang lebih dulu) sebab jelas sekali mereka yang lebih dahulu menyerang.
Dalam jihad defensif, ketika ummat Islam diserang oleh musuh maka kewajiban ummat untuk membela diri tanpa ada syarat-syarat jihad yang harus dipenuhi (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah, hal. 532 dan Al-Fatawa Al-Kubrô, 4/608).
Akan tetapi, untuk ketegori jihad ofensif terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum melakukan jihad tersebut. Di sinilah salah satu perbedaan mendasar antara jihad dan terorisme.
==> Bahwa jihad terikat dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala dalam syari’at-Nya, sedangkan terorisme justru menerjang aturan-aturan tersebut.
Maka inilah syarat-syarat jihad ofensif kepada orang-orang kafir yang dijelaskan para ulama :
Syarat Pertama :
- Jihad harus di pimpin oleh seorang kepala negara
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allaah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan di belakangnya dan dijadikan sebagai pelindung.” [HR. Al-Bukhari, no. 2957]
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
“Dan makna dilakukan peperangan di belakangnya, yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij, dan seluruh pengekor kerusakan dan kezaliman.” (Syarah Muslim, 12/230)
Syarat Kedua :
- Jihad harus didukung dengan kekuatan yang cukup Untuk menghadapi (baca : memulai penyerangan - AK) musuh di perlukan kekuatan yang cukup, sehingga apabila kaum muslimin belum memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi musuh, maka gugurlah kewajiban tersebut dan yang tersisa hanyalah kewajiban untuk mempersiapkan kekuatan.
Allaah Subhânahu wa Ta’ala menegaskan :
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahui nya, sedang Allah mengetahui nya.” (Al - Anfâl : 60)
Di antara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An- Nawwâs bin Sam’ân radhiyallahu ‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaihissalâm membunuh Dajjal, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj, “…Dan tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan demikian maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca : kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian, Allah mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….” (HR. Muslim, no. 2937)
Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi ‘Isâ ‘alaihissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allaah TIDAK memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad (menyerang musuh), bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.
Demikian pula, ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat masih lemah di Makkah, Allah Ta’ala melarang kaum Muslimin untuk berjihad, padahal ketika itu kaum Muslimin mendapatkan berbagai macam bentuk kezhaliman dari orang-orang kafir.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata :
“Dan beliau (Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam) diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi orang-orang kafir karena ketidak mampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad.” (Al-Jawâb Ash- Shohîh, 1/237)
Syarat Ketiga :
- Jihad di lakukan harus oleh kaum muslimin yang memiliki wilayah kekuasaan.
Perkara ini tampak jelas dari sejarah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, bahwa beliau diizinkan berjihad oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika telah terbentuknya satu kepemimpinan dengan Madinah sebagai wilayahnya dan beliau sendiri sebagai pimpinannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan :
“Awal di syariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” (Fathul Bari, 6/4-5 dan Nailul Authar, 7/246-247).
Demikianlah syarat-syarat jihad dalam syari’at Islam.
Adapun dari sisi akal sehat bahwa tujuan jihad adalah untuk meninggikan agama Allah Ta’ala sehingga Islam menjadi terhormat dan berwibawa di hadapan musuh, hal ini tidak akan tercapai apabila tidak dipersiapkan dengan matang dengan suatu kekuatan, persiapan dan pengaturan yang baik.
Maka ketika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, sebagaimana dalam aksi-aksi terorisme, hasilnya justru bukan membuat Islam menjadi tinggi, malah memperburuk citra Islam, sebagaimana yang kita saksikan saat ini.
B. Pelanggaran Kedua :
- Memerangi orang kafir sebelum didakwahi dan ditawarkan apakah memilih Islam, membayar jizyah atau perang.
Pelanggaran ini menunjukkan kurangnya semangat para Teroris (pelaku penyerangan dan bom bunuh diri) untuk mengusahakan hidayah kepada manusia dan semakin jauh dari tujuan jihad itu sendiri, padahal hakikat jihad hanyalah sarana untuk menegakkan dakwah kepada Allah Ta’ala.
Ini juga merupakan bukti betapa jauhnya mereka dari pemahaman yang benar tentang jihad, sebagaimana tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada para mujahid yang sebenarnya, yaitu para sahabat radhiyallahu‘anhum.
Dalam hadits Buraidah radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa âlihi wa sallam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian, beliau berkata, “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsîl (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”. (HR. Muslim, no. 1731)
C. Pelanggaran Ketiga
- Membunuh orang muslim dengan sengaja
Kita katakan bahwa mereka sengaja membunuh orang muslim yang tentu sangat mungkin berada di lokasi pengeboman karena jelas sekali bahwa negeri ini adalah negeri mayoritas muslim. Dan mereka sadar betul di sini bukan medan jihad seperti di Palestina dan Afganistan, bahkan mereka tahu dengan pasti kemungkinan besar akan ada korban muslim yang meninggal. (Belum lagi sampai ada yang secara sengaja melakukan setangan bom disebuah masjid saat sholat jum'at, ini jelas ada kesengajaan membunuh ummat muslim !! - AK)
Tidakkah mereka mengetahui adab Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebelum menyerang musuh di suatu daerah ?!
Disebutkan bahwa dalam hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu :
“Sesungguhnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam apabila bersama kami untuk memerangi suatu kaum, beliau tidak melakukan perang tersebut hingga waktu pagi, kemudian beliau menunggu, apabila beliau mendengar adzan maka beliau menahan diri dari mereka dan apabila beliau tidak mendengar adzan maka beliau menyerang mereka secara tiba-tiba. ”(HR. Al-Bukhâri, no. 610)
Tidakkah mereka mengetahui betapa terhormatnya seorang muslim itu di sisi Allah Ta’ala ?!
Tidakkah mereka mengetahui betapa besar kemarahan Allah Ta’ala atas pembunuh seorang muslim ?!
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dngn sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (An-Nisâ`: 93)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa‘alaalihi wasallam menegaskan :
“Sungguh sirnanya dunia lebih ringan di sisi Allah dari membunuh (jiwa) seorang muslim.” (riwayat At-Tirmidzi, no. 1399,)
D. Pelanggaran Keempat.
- Membunuh orang kafir tanpa pandang bulu
Inilah salah satu pelanggaran Teroris dalam berjihad yang menunjukkan pemahaman mereka yang sangat dangkal tentang hukum-hukum agama dan penjelasan para ulama.
Ketahuilah, para ulama dari masa ke masa telah menjelaskan bahwa tidak semua orang kafir yang boleh untuk dibunuh, maka pahamilah jenis-jenis orang kafir berikut ini :
1. Kafir harbiy
Yaitu orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Inilah orang kafir yang boleh untuk dibunuh
2. Kafir dzimmy
Yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin, tunduk dengan aturan-aturan yang ada dan membayar jizyah (sebagaimana dalam hadits Buraidah di atas), maka tidak boleh dibunuh.
3. Kafir mu’ahad.
Yaitu orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin untuk tidak saling berperang, selama ia tidak melanggar perjanjian tersebut maka tidak boleh dibunuh.
4. Kafir musta’man.
Yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin, maka tidak boleh bagi kaum muslimin yang lainnya untuk membunuh orang kafir jenis ini.
Dan termasuk dalam kategori ini adalah para pengunjung suatu negara yang diberi izin masuk (visa) oleh pemerintah kaum muslimin untuk memasuki wilayahnya.
Banyak dalil yang melarang pembunuhan ketiga jenis orang kafir di atas, bahkan terdapat ancaman yang keras dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”. (HR. Al-Bukhari, no. 3166, 6914)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berpendapat bahwa kata mu’ahad dalam hadits di atas mempunyai cakupan yang lebih luas. Beliau berkata :
“Dan yang diinginkan dengan (mu’ahad) adalah setiap yang mempunyai perjanjian dengan kaum muslimin, baik dengan akad jizyah (kafir dzimmy), perjanjian dari penguasa (kafir mu’ahad), atau jaminan keamanan dari seorang muslim (kafir musta’man).” (Fathul Bary, 12/259)
[Disari dari buku : Meraih Kemuliaan melalui Jihad Bukan Kenistaan]
http://khansa.heck.in/kesalahan-khawarij-dalam-memaknai-jihad.xhtml
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang- orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat.
Wallahu a`lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar